Senin, 01 November 2010

Tujuan Diturunkannya Al Qur’an

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak.”Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. (QS. Al Kahfi 18/2-5)

Setelah Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan keagungan Al Qur’an, berikut kedua sifatnya : tidak bengkok dan meluruskan segala ajaran dan pemahaman yang salah, kini pada ayat di atas Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan tujuan diturunkannya Al Qur’an: Pertama, untuk memberi peringatan akan siksaan Allah yang sangat pedih. Kedua, untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.

Peringatan Akan Siksaan Yang Sangat Pedih

Allah berfirman: liyundzira ba’san syadidan maksudnya adalah bahwa Al Qur’an diturunkan untuk memberi peringatan jangan sampai manusia salah jalan. Sebab jika salah jalan nantinya yang akan didapatkan adalah siksaan Allah yang pedih. Di sini nampak bahwa Allah ‘Azza wa Jalla: (a) Sangat serius memperhatikan hidup manusia. Sebab Dialah Sang Pencipta, maka tidak mungkin Ia mencelakakan ciptaanNya. Karenanya Ia turunkan Al Qur’an, didalamnya terdapat aba-aba, agar manusia hati-hati dalam menjalani hidupnya di muka bumi ini. (b) Bahwa hidup di muka bumi ini ada tuntunannya. Dan Al Qur’an adalah tuntunan yang Allah turunkan. Karenanya tidak boleh manusia hidup di muka bumi ini seenaknya. Ia harus tunduk dan patuh kepada aturan main yang diajarkan. Jika tidak ia harus menerima resiko, yaitu menjalani siksaan Allah yang sangat pedih.

Kata liyundzira diambil dari kata andzara, yundziru, indzaar artinya memberi kabar yang menakutkan. Dan sasaran berita ini adalah orang-orang kafir agar beriman, dan orang-orang yang selalu berbuat maksiat agar bertaubat. Di dalam Al Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla selalu menceritakan dahsyatnya api neraka. Dalam surat Al Mulk 67/7 Allah berfirman: “Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak”. Di surat lain disebutkan bahwa minumannya sangat panas, dan menjijikkan, bahkan makanannya sangat pahit dan berduri: laa yadzuuquuna fiihaa bardaw walaa syaraaba, illaa hamimaw waghassaaqaa (mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah) (QS. An Naba’ 78/24-25). Dalam surat Al Haqqah 69/36: walaa tha’aamun illaa min ghisliin “Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah”. Dalam surat Al Ghasyiah 4-7: “Mereka memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” dan lain sebagainya.

Nampak pada ayat tersebut bahwa penyebutan liyundzira didahulukan atas wa yubasysyra yang artinya “memberi kabar gembira”, ini untuk menunjukkan beberapa makna: (a) bahwa Al Qur’an lebih banyak menggunakan gaya indzar dari pada tabsyiir (lihat Sayyid Quthub, fii dzilaalil Qur’an, vol. 4, h.2259). Dan memang secara psikologis manusia akan lebih bersungguh-sungguh menjalankan tugas dan kewajibannya ketika perasaan takutnya lebih dominan. Ada seseorang yang tidak pernah bangun shalat subuh pada waktunya dengan berjamaah di masjid, karena rasa takutnya kepada Allah lemah. Tetapi pada suatu malam ia bisa bangun sebelum waktu subuh tiba, karena takut ketinggalan pesawat. Seorang suami tidak mau bangun sebelum fajar untuk sejenak menegakkan shalat tahajjud, padahal istrinya sudah habis-habisan membangunkan-nya, tetapi pada suatu malam tepatnya jam 03.00 saat api menjilat pintu jendelanya, ia segera bangkit, karena takut terbakar.

Perhatikan betapa rasa takut begitu dahsyat menggerakkan seseorang untuk selalu waspada. Dalam ruangan gelap yang sangat menakutkan seseorang seringkali tidak bisa tidur karena desakan rasa takut. Saya sering melihat para pedagang bergerak menuju pasar sejak jam dua malam sampai pagi untuk mendapatkan penghasilan karena takut lapar. Al Qur’an Allah turunkan untuk membangunkan perasaan takut ini supaya hidup, tetapi bukan untuk urusan dunia melainkan untuk urusan akhirat. Sebab kalau untuk urusan dunia manusia dengan sendirinya sudah dihantui rasa takut. Karenanya mayoritas manusia bekerja keras untuk urusan dunia. Namun untuk urusan akhirat –karena ia tidak nampak- manusia seringkali mengabaikannya. Bahkan sekalipun sudah berkali-kali Allah menceritakan dalam Al Qur’an mengenai umat-umat terdahulu yang telah Allah hancurkan karena dosa-dosa mereka, itu semua tidak membuat banyak manusia takut. Manusia masih saja selalu mengulangi dosa-dosa tersebut, sepanjang masa. Karenanya Allah pada ayat tersebut menggunakan kata ba’san syadidan mil ladunhu, kata ba’san syadidan artinya siksaan yang sangat pedih. Dan dari saking pedihnya Allah tidak menyebutkan secara detil apa bentuk siksaan tersebut. Para pembaca dibiarkan membayangkan dan bertanya-tanya seperti kira-kira dahsyatnya. Ditambah lagi dengan kata mil ladunhu yang artinya dari Allah yang maha perkasa. Berarti siksaan tersebut bukan siksaan biasa seperti yang seringkali mereka saksikan di dunia. Melainkan siksaan yang benar-benar luar biasa.

(b) Allah ‘Azza wa Jalla mendahulukan kata indzaar dari pada tabsyiir untuk menunjukkan bahwa dalam berdakwah atau memperbaiki diri hendaknya yang dilakukan adalah taqdiimut takhliyah ‘alat tahliyah (mendahulukan pembebasan atas pembinaan) (lihat Tafsir Abus Sa’ud vol.5, h. 203). Artinya bersihkan dulu dosa-dosa baru kemudian diisi dengan kebaikan. Dengan kata lain bertaubatlah terlebih dahulu, baru setelah itu beramal. Sebab tidak mungkin bertemu hati yang kotor dengan Allah yang maha suci. Hakikat ini sebenarnya memang merupakan sunnatullah. Secara fitrah manusia mengakuinya. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang ketika hendak membangun rumah atau sebuah gedung, langkah pertama yang mereka lakukan adalah pembersihan diganti dengan fondasi yang kokoh, baru setelah itu gedung dibangun di atasnya. Begitu juga amal shaleh, ia akan tegak secara kokoh dan istiqamah di atas jiwa yang bersih dari dosa-dosa.

Kabar Gembira Bagi Orang-orang Beriman

Lalu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: wayubasysyiral mu’miniinal ladziina ya’maluunash shaalihaat anna lahum ajran hasana artinya bahwa kabar gembira hanya milik orang-orang yang beriman. Tanpa iman seseorang tidak berhak mendengarkan kabar gembira. Gembira di dunia sebab ia mendapatkan petunjuk kebenaran dari Allah yang maha mengetahui. Dan gembira di akhirat sebab ia akan mendapatkan buah amal kebaikannya selama di dunia. Orang-orang kafir semua kelak akan menyesal, karena ternyata segala kecapean yang ia lakukan di dunia sia-sia. Tidak ada amal apapun –sekalipun nampak baik di mata manusia- yang bisa membantu mereka dari siksaan yang sangat pedih. Karenanya mereka tidak akan pernah mendapatkan kabar gembira. Jadi hanya al mu’minuun (orang-orang yang benar-benar beriman) yang akan mendapatkan kabar gembira tersebut.

Syaratnya setelah beriman, ia hendaknya melakukan amal saleh. Allah berfirman al ladziina ya’maluunash shaalihaat . Perhatikan kata al ladziina ya’maluun di mana Allah menggunakan kata yang menunjukkan masa depan (mudhaari’) ini untuk menggambarkan bahwa amal saleh tidak cukup hanya sekali, melainkan harus terus menerus tanpa sedikitpun terputus. Dengan penjelasan ini nampak bahwa tidak cukup seseorang hanya mengandalkan iman lalu tidak menghidupkan iman tersebut dengan amal saleh. Karenanya dalam Al Qur’an antara iman dan amal saleh selalu bergandengan. Dalam surat Al ‘Ashr misalnya Allah berfirman: illaldziina aamanuu wa’amilush shaalihaat (kecuali orang-orang yangberiman dan beramal saleh). Sebab hidup tidaknya iman sangat tergantung kepada amal saleh yang dilakukan seseorang. Karenanya para ulama menegaskan bahwa iman naik turun (yaziidu wa yanqush). Yaziidu bith thaa’ah (iman naik dengan ketaatan) wa yangqush bil ma’shiyah (dan turun dengan kemaksiatan).

Apa kabar gembira yang mereka dapatkan sebagai buah dari keimanan dan amal salehnya?: Pertama, Allah berfirman: anna lahum ajran hasanaa artinya bahwa bagi mereka balasan kebaikan. Apa bentuk balasan kebaikan tersebut? Tak tergambar keindahannya, dan tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Karenanya Allah tidak mendetilkan di sini. Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: maakitsiina fiihi abadaa artinya bahwa mereka akan terus bersenang-senang dalam balasan kebaikan tersebut selama-lamanya. Sebab Allah ‘Azza wa Jalla memang telah merancang untuk mengekalkan alam akhirat. Dari sini nampak perbedaan antara balasan yang diberikan manusia kepada manusia dan balasan kebaikan yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hambanya. Yaitu bahwa balasan kebaikan yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kekal selama-lamanya. Sebaliknya balasan kebaikan yang diberikan manusia pasti sirna.

Dari gambaran ini juga nampak bahwa kenikmatan balasan yang akan Allah ‘Azza wa Jalla berikan kelak kepada orang-orang beriman jauh di atas segala kenikamatan yang pernah dicapai manusia di dunia. Artinya puncak kenikmatan dunia dengan segala kemewahannya itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di akhirat. Mengapa sebab kenikmatan dunia ada akhirnya, ia pasti anda tinggalkan atau ia meninggalkan anda. Sementara kenikmatan alam akhirat adalah kenikmatan abadi, tiada kebosanan dan senantiasa menyenangkan selama-lamamanya maakitsiina fiihi abadaa.

Peringatan Khusus Bagi Dosa Terbesar

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: wayundziral ladziina qaaluttakhadzallahu waladaa (Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak). Ini adalah ancaman khusus bagi mereka yang tidak hanya kafir melainkan malah menuduh Allah mempunyai anak. Mereka menyamakan Allah dengan manusia, beranak dan diperanakkan. Disebutkan secara khusus di sini –padahal pada ayat sebelumnya Allah sudah menyebutkan indzaar secara umum- untuk menggambarkan betapa tuduhan ini adalah merupakan puncak kedurhakaan dan puncak keberanian sang mahluk kepadaNya. Dalam surat Maryam 88-92 Allah menggambarkan dahsyatnya dosa ini: “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak”.

Karenanya pada ayat berikutnya Allah berfirman: .”Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta”. Artinya mana buktinya bahwa Allah mempunyai anak. Ini adalah tuduhan yang benar-benar tidak berdasarkan ilmu sama sekali. Sebab ternyata mereka mengatakan tuduhan ini hanya ikut-ikutan. Maksudnya mereka hanya ikut apa yang pernah dikatakan nenek moyang mereka. Padahal mereka mengatakan itu tanpa ilmu. Kata maa lahum bihii min ilmin menunjukkan bahwa mereka benar-benar tidak mempunyai ilmu sama sekali yang bisa dijadikan landasan atas tuduhan yang mereka katakan itu. Dari sini nampak bahwa ilmu yang sebenarnya adalah yang datang dari Allah, bukan yang mereka karang-karang sendiri. Bahwa dalam urusan akidah tidak boleh seseorang seenaknya mengarang dengan akalnya yang sangat terbatas. Melainkan harus mendengarkan informasi wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Ditambah lagi dengan kalimat: kaburat kalimatan takhruju min afwaahihim artinya bahwa apa yang mereka katakan itu benar-benar omong kosong. Tidak ada dasarnya sama sekali. Karenanya perkataan ini tergolong dosa yang sangat besar, dalam ayat disebut kaburat yang artinya “sungguh termasuk dosa besar”. Lebih dahsyat lagi Allah menegaskan: iy yaquuluuna illaa kadzibaa artinya bahwa pernyataan ini benar-benar bohong. Kebohongan yang tidak berdasarkan pemikiran sebelumnya. Dan seorang yang cerdas tidak mungkin melakukan hal ini. Sebab ia akan selalu menggunakan akalnya sebelum menyatakan sesuatu. Maka ketika seorang berbohong berarti ia dalam dua kondisi: Pertama, boleh jadi ia memang tidak tahu sama sekali, lalu mengarang-ngarang sendiri berdasarkan kebodohannya. Kedua boleh jadi ia sebenarnya tahu, tetapi ia menyembunyikan kebenaran yang telah ia ketahui, lalu dengan mulutnya ia berkata dusta. Inilah yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani di mana mereka sebenarnya tahu dari Al Kitab yang mereka terima, bahwa Allah tidak punya anak, tetapi mereka menyembunyikan kebenaran ini dan mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Kaum Yahudi mengatakan Uzair anak Allah dan kaum Nasrani mengatakan Isa anak Allah, ini sungguh kedustaan yang nyata iy yaquuluuna illaa kadzibaa.

Tafsir Al Hikmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar